Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia.
Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat.
Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai
Dalam kaidah fikih disebutkan,
ما أبين من حي فهو كميتته
“Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.”
Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis.[1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis.
Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah:
Status kenajisan bagian tubuh manusia
Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
المؤمنُ لا يَنجسُ
“Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika mensyarah kaidah tersebut, beliau mengatakan,
وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته
“Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.”[2]
Kaidah fikih dan pembatasannya
Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda,
ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ
“Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480)
Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat.[3]
Hukum jual beli organ tubuh manusia
Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah
Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70)
Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan.
Ibnu Abidin berkata,
وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِيرَادُ الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ
“Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.”[4]
Dalil kedua: Telah sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه.
“Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227)
Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini.
Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya.
Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan.
Dalil keempat: Para ulama berkata, ,”Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5]
Hukum donor organ tubuh manusia
Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah:
Dalil pertama:
Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain.
Dalil kedua:
Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan.
Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32).
Dalil ketiga:
Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat.[6]
Kesimpulan
Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam.
Wallahu A’lam.
***
Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel asli: https://muslim.or.id/101600-hukum-jual-beli-organ-tubuh-manusia.html